Lewat pleidoi atau nota keberatannya, Ferdy Sambo seolah berusaha melimpahkan semua kesalahannya kepada Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu.
Misalnya lewat upayanya mempertahankan narasi memberi perintah hajar alih-alih menembak Nofriansyah Yosua Hutabarat. Namun keterangan Sambo ini dimentahkan oleh mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda (Purn.) Soleman B Ponto.
Lewat program Obrolan Malam di kanal YouTube BeritaSatu, Soleman mengingatkan sederet situasi yang menjepit Eliezer sebagai ajudan Sambo.
"Eliezer ini adalah Bharada yang pangkatnya paling rendah di Brimob. Brimob ini adalah satuan semi-militer, beda sama polisi lalu lintas," ucap Soleman, dikutip pada Rabu (25/1/2023).
Baca Juga:PPP Siap Dukung Kaesang Maju Pilkada jadi Suksesor Gibran di Solo
Bukan hanya itu, Soleman juga kemudian menyoroti pertemuan Eliezer dan Sambo sebelum penembakan tersebut terjadi.
"Ditanya, 'Senjatamu mana? Isi senjatamu. Ini pelurumu. Nanti kamu bantu nembak ya'. Dengan pendahuluan ini, bagi seorang Bharada yang Brimob, apapun keluar dari mulut Pak Sambo, mau hajar, sikat, itu terjemahannya hanya tembak mati," kata Soleman.
"Karena memang Bharada ini didesain untuk menerima perintah, kalau tembak ya tembak mati. Ini Brimob yang selalu dikirim ke Papua kan? Jadi kalau tembak, ya tembak mati. Dan bagi dia memang tidak berpikir, bukan tidak bisa, desainnya tidak boleh berpikir, karena dia alat. Dia robot. Paling bawah," lanjutnya.
Hal ini berbeda dengan tekanan yang dialami Bripka Ricky Rizal Wibowo. Selain karena pangkatnya sudah lebih tinggi, Ricky juga berasal dari Satuan Lalu Lintas (Satlantas) yang budayanya berbeda dari Brimob.
Karena itulah Soleman menilai bantahan Sambo tidak bisa diterima. Kalaupun benar-benar memberi perintah hajar, tetapi pertemuan sebelum penembakan di rumah Duren Tiga sudah menjadi doktrin untuk Eliezer.
Baca Juga:Rasakan Dampak Positif Semenjak Gandeng Ridwan Kamil, Politikus Golkar: Selalu 'Trending Topic'
"Karena memang didesainnya dia tukang tembak mati, bukan tembak melumpuhkan, wong Brimob kok," tegasnya menambahkan.
Sementara Ketua Harian Kompolnas, Irjen Pol (Purn.) Benny Josua Mamoto menilai perintah hajar yang ditegaskan Sambo tidak logis. Sebab bila Yosua tidak dihabisi saat itu juga, bisa jadi perangai Sambo akan lebih mudah terbuka ke publik.
"(Misalnya Sambo beri perintah) tembak bagian kaki, (Yosua) nggak mati kan? Gimana cara kamu ngamanin supaya Yosua nantinya bisa bungkam?" tutur Benny.
"Begitu dia kena itu (Yosua ditembak Eliezer atas perintah Sambo), berobat di rumah sakit, kabur, meminta perlindungan, selesai, semua terbuka. Artinya nggak logis," jelasnya menambahkan.
Karena itulah Benny meyakini perintah hajar Sambo memang diartikan sebagai tembak mati. "Makanya setelah itu disusunlah skenario bagaimana supaya dia lolos, dibangun lah suatu peristiwa yang menurut versi dia untuk dia lolos," pungkasnya.