Pada tahun 1935 wilayah kolonisasi Sukadana mulai dibuka. Sejarah kelahiran Kota Metro sendiri bermula dengan dibangunnya sebuah induk desa yang diberi nama Trimurjo. Pada era kolonisasi juga terbentuk onder distrik (setingkat kecamatan) yaitu Metro, Pekalongan, Batanghari, Sekampung, dan Trimurjo. Kelima onder distrik ini mendapat pengairan teknis yang bersumber dari Way Sekampung. Saat itu para kolonis telah bermukim di onder distrik atau biasa disebut bedeng.
Keberadaan bedeng dimulai dari Bedeng 1 bertempat di Trimurjo dan Bedeng 67 di Sekampung, yang kemudian nama bedeng tersebut digunakan untuk penyebutan nama daerah-daerah di Metro. Sampai saat ini istilah penomorannya masih dipergunakan oleh masyarakat, seperti Bedeng 15 Kauman, Bedeng 27 Bantul.
Sumbersari sendiri adalah salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Metro Selatan, Kota Metro, Provinsi Lampung yang dihuni oleh mayoritas suku Jawa. Secara geografis daerah yang terletak di sebelah selatan Kota Metro ini berbatasan dengan salutran irigasi Trimurjo-Sekampung di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Way Sekampung/Desa Sumber Agung Kecamatan Metro Kibang Lampung Timur, sebelah barat berbatasan dengan Desa Depok Rejo, Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Metro Selatan.
Masyarakat di Provinsi Lampung, khususnya masyarakat Kota Metro lebih mengenal kelurahan Sumbersari dengan sebutan daerah Bantul. Mengapa hingga kini nama Bantul lebih dikenal daripada Sumbersari?. Pemberian nama pada sebuah daerah bukan hanya sekedar sebutan namun dapat difungsikan sebagai sebuah identitas, jati diri atau lambang dari suatu daerah atau tempat tersebut.
Penamaan nama tempat atau wilayah sendiri disebut dengan toponimi. Toponimi sendiri berkaitan dengan bidang etnologi dan kebudayaan. Di Kota Metro sendiri cukup banyak ditemui toponimi daerah atau tempat seperti Bantul, Kauman, dan bedeng yang sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Kota Metro.
Awal mula keberadaan daerah Sumbersari tidak terlepas dari kebijakan kolonisasi yang dilakukan Belanda di Pulau Sumatera khususnya di Kota Metro. Pada saat itu para kolonis (penduduk yang dipin- dahkan) ditampung didalam bedeng dengan nomor urut 1, 2, 3 dan seterusnya. Daerah Sumbersari Bantul mendapatkan tempat dengan nomor urut 27 yang dikenal pula dengan sebutan Bedeng 27. Di samping nomor urut juga dikenal dengan urutan VAK (dalam bahasa belanda yang berarti bidang atau petak) menurut abjad. Sedangkan Bedeng 27 mendapatkan VAK atau abjad ‘S’. Oleh beberapa tokoh masyarakat abjad ‘S’ tersebut dijabarkan menjadi sebuah nama yaitu Sumbersari. Nama ini kemudian disahkan menjadi nama Sumbersari dan mendapat restu dari pemerintah Pangreh Praja Assisten Wedana Metro.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak P. Sudiyono (79) Pada tahun 1939 Bupati Bantul, Yogyakarta mengadakan kunjungan ke Metro dan saat itu sempat melawati Desa Sumbersari. Saat kunjungan Bupati Bantul tersebut sarana ekonomi berupa sebuah pasar tradisional rakyat baru saja difungsikan oleh masyarakat. Oleh Bupati Bantul pasar tersebut diberi nama Pasar Bantul. Sejak saat itu hingga kini daerah tersebut dikenal dengan sebutan Desa Bantul. Berdasarkan hal ini cukup menjadi sebuah bukti bahwa adanya migrasi penduduk serta permukiman di Sumbersari Bantul.
Selama masa Pemerintah Hindia Belanda para kolonis di Sumbersari Bantul terus berjuang keras, mereka harus berhadapan dengan lingkungan hutan dengan terbatasnya fasilitas. Fasilitas di Metro saat itu hanyalah sarana kesehatan berupa Poliklinik yang hanya dipimpin oleh seorang juru rawat dan sarana pendidikan sekolah Rakyat (SR) yang hanya memiliki program pendidikan 3 tahun. Di tahun 1941 para kolonis Desa Sumbersari Bantul menambah areal persawahan dengan membuka lahan kembali. Hal itu dilakukan agar warga menjadi kerasan sekaligus untuk mencegah perpindahan penduduk.
Pada tahun 1942 terjadi pergantian pemerintahan dari pemerintahan Hindia Belanda ke tangan kekuasaan jepang. Bagi penduduk Desa Sumbersari Bantul kondisi tersebut seperti terlepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Hampir seluruh hasil pertanian penduduk diambil paksa oleh Jepang untuk Perang Asia Timur Raya.
Desa Sumbersari Bantul pun semakin jatuh ke dalam penderitaan, kemelaratan dan kekurangan makanan bahkan jiwa merekapun mulai terancam karena timbulnya berbagai macam penyakit. Sementara obat-obatan sangat sulit diperoleh dan sarana kesehatan yang ada tak berfungsi lagi. Penderitaan penduduk ini terus berlangsung hingga tahun 1949 saat terjadi Agresi Militer Belanda II. Demi mempertahankan kemerdekaan tak sedikit warga Desa Sumbersari Bantul kehilangan nyawa diantaranya Golok Rabidin, Setro Prawiro, dan Sukoco (Arsip Kelurahan Sumbersari).
Seiring waktu daerah Sumbersari Bantul semakin berkembang hingga saat ini. Banyak fasilitas umum yang dibangun seperti tempat ibadah, sarana pendidikan, kesehatan, olahraga, seni budaya dan lainnya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Saat ini masih tampak salah satu fasilitas umum jembatan gantung yang masih digunakan masyarakat Bantul hingga saat ini . Jembatan gantung ini menghubungkan Kecamatan Metro Selatan dan Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur. Jembatan yang dibangun pada tahun 1968 dan diberi nama Jembatan Gantung Pelita sendiri sudah tiga kali mengalami renovasi namun masih terus berfungsi hingga saat ini.
Nilai-nilai sosial kemasyarakatan Warga Sumbersari Bantul juga tampak begitu menonjol. Demikian juga kemajuan bidang kebudayaan, seperti pada tahun 1952 lahir gerakan perlumbungan (gerabah) di setiap kebayanan, adapula paguyuban wayang orang. Lahir pula organisasi kepemudaan PKR (Pemuda Kesejahteraan Rakyat) yang bergerak di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan, budaya dan olahraga. Pada tahun 1953 berlangsung pawai akbar untuk memperingati HUT Kemerdekaan RI dan tradisi tersebut masih terus dipertahankan hingga saat ini.
Dian Nur Pertiwi (Guru IPS di SMP Negeri 5 Metro)